ryan koko's. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Uveitis


UVEITIS
1. Definisi
Uvea merupakan lapis vaskular mata yang terdiri dari iris, korpus siliaris dan khoroid. Uveitis ialah peradangan (inflamasi) pada uvea.


 


2. Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis.
a.     Klasifikasi berdasar anatomisnya, antara lain:





Tipe
Fokus Inflamasi
Meliputi
1.       Uveitis Anterior
COA
a.       Iritis
Merupakan bentuk uveitis yang paling umum. Mempengaruhi kinerja iris dan seringkali dihubungkan dengan kelainan-kelainan autoimun seperti rheumatoid arthritis. Iritis mungkin berkembang tiba-tiba dan mungkin berlangsung sampai 8 minggu, bahkan dengan perawatan.
b.       Iridoksiklitis
Inflamasi pada iris dan pars plicata.
c.       Siklitis Anterior
2.      Uveitis Intermedia (inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer)
Vitreus
a.       Siklitis posterior
b.       Hialitis
c.       Koroiditis
Peradangan pada lapisan di bawah retina. Kemungkinan juga disebabkan oleh suatu infeksi seperti tubrkolosis.
d.       Korioretinitis
e.       Pars Planitis
3.      Uveitis Posterior (Inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus)
Retina dan Koroid
a.      Koroiditis Fokal, multifocal, atau difus
b.      Korioretinitis
c.      Retinokoroiditis
d.      Retinitis
Mempengaruhi belakang mata. Perkembangan secara cepat sehingga mempersulit perawatan. Biasanya disebabkan oleh virus shingles atau herpes dan infeksi bakteri seperti syphilis atau toxoplasmosis.
e.      Neuroretinitis
4.      Panuveitis
COA, Vitreus, Retina, dan Koroid
Inflamasi pada seluruh uvea.

b.    Klasifikasi berdasar gambaran klinisnya, antara lain:
Tipe
Keterangan
1.      Akut
Karakteristik Episodenya: onset simptomatik tiba-tiba, durasi ≤3 bulan.
2.      Rekuren
Episodenya berulang, dengan periode inaktivasi tanpa terapi ≥ 3 bulan.
3.      Kronis
Uveitis berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun,seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik, dengan relaps < 3 bulan setelah terapi deihentikan.



c.     Klasifikasi berdasar etiologinya, antara lain:
Tipe
Keterangan
1.      Uveitis Eksogen
Uveitis terjadi karena trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
2.      Uveitis Endogen
Uveitis terjadi karena mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
a.      Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
b.      Infeksi
yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm toksokariasis)
c.      Uveitis spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
d.      Uveitis non-spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam kelompok di atas.








d.Klasifikasi berdasar patologisnya, antara lain:





Tipe
Keterangan
1.      Uveitis Non-granulomatosa
ü  Infiltrasi dominan limfosit pada koroid.
ü  Umumnya tidak ditemukan organism pathogen dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid sehingga diduga peradangan ini merupakan fenomena hipersensitivitas.
2.      Uveitis Granulomatosa
ü  Koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus.
ü  Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organism penyebab.





 
3. Etiologi
Uveitis terjadi karena beberapa hal, antara lain:
a.     Eksogen
Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intraokuler, ataupun iatrogenik.
b.    Endogen
Karena adanya kelainan sistemik sebagai faktor predisposisi
·      Bakteri                              : Tuberkulosa, sifilis
·      Virus                                  : Herpes simpleks, Herpes zoster, CMV,
Penyakit Vogt- Koyanagi-Hanada, Sindrom Bechet.
·      Jamur                                                : Kandidiasis
·      Parasit                              : Toksoplasma, Toksokara
·      Penyakit Sistemik       : Penyakit kolagen, arthritis reumatoid, multiple sklerosis,
sarkoidosis, penyakit vaskuler
·      Imunologik                     : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika
·      Neoplastik                       : Limfoma, reiculum cell carcinoma
c.     Immunodefisiensi             : AIDS
d.    Idiopatik

4. Faktor Risiko
a.  Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
b.  Riwayat penyakit autoimun
c.  Perokok
Berdasarkan penelitian dari University California San Francisco menyatakan bahwa di dalam rokok ditemukan senyawa-senyawa tertentu yang ditemukan dalam bagian air yang larut dalam asap rokok meliputi oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan peradangan pembuluh darah. Mengingan bahwa uveitis adalah hasildari kekebalan dysregulation, maka masuk akal bahwa rokok dapat berkontribusi pada pathogenesis uveitis.


6. Epidemiologi
Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang. Di dunia diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000 populasi per tahun, atau 38.000 kasus baru per tahun dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Sekitar 75% merupakan uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait. Uveitis bisa terjadi pada umur di bawah 16 tahun sampai umur 40 tahun. Pada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Israel, India, Belanda, dan Inggris insiden uveitis banyak terjadi pada dekade 30- 40 tahun
Setelah usia 70 tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.
Uveitis dapat terjadi pada usia berapapun, namun umumnya terjadi pada usia dewasa muda dan anak. Uveitis biasanya bilateral. 8-15% kasus uveitis ialah uveitis intermedia.

7. Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen).
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikelpartikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaucoma sekunder. Pada fase akut terjadi glaukoma sekunder karena gumpalan-gumpalan pada sudut bilik mata depan, sedangkan pada fase lanjut glaukoma terjadi karena adanya seklusio pupil.
Patofisiologi Uveitis
Antigen dari luar (antigen eksogen)                              Antigen dari dalam (eksogen)
                                                                     
Alergi, mekanisme hipersensitivitas

Radang iris dan radang badan siliar

 Rusaknya Blood Aqueous Barrier

Protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos⬆.
Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikelpartikel
kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).

 Migrasi eritrosit ke Bilik Depan Mata (BDM) , hifema (bila proses akut)
 
 Sel-sel radang melekat pada endotel kornea (keratic precipitate)
 
Sel-sel radang, fibrin, fibroblast menyebabkan
iris melekat pada kapsul lensa anterior (sinekia posterior)
dan pada endotel kornea (sinekia anterior)
 

 Sel-sel radang, fibrin, fibroblas menutup pupil
(seklusio pupil / oklusio pupil)
 
 Gangguan aliran aquous humor
dan peningkatan tekanan intra okuler dan terjadi glaukoma sekunder

 Gangguan metabolisme pada lensa, lensa jadi keruh, katarak komplikata

 Peradangan menyebar bisa menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis



8. Gejala dan Tanda
a.  Gejala Subyektif
1)     Nyeri
2)     Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasmus siliar bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia. Terjadi pada uveitis anterior akut.
3)     Penglihatan Kabur
4)     Konjungtiva kemerahan

b.  Gejala Obyektif
1)     Injeksi siliar, hiperemi pembuluh darah siliar sekitar limbus, berwarna keunguan.
2)     Perubahan kornea, kreatik presipitat.
Terjadi karena pengendapan selradang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea.
3)     Kelainan kornea
4)     Kekeruhan dalam bilik depan mata yang disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.
5)     Perubahan pada lensa, berupa pengendapan sel radang, pengendapan pigmen, dan perubahan kejernihan lensa.
6)     Perubahan dalam bahan kaca
Kekeruhan badan kaca terjadi karena pengelompokkan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau di belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak.
7)     Perubahan tekanan bola mata.


9. Gambaran Klinis
a.  Uveitis anterior
Gejala utama uveitis anterior akut adalah fotofobia, nyeri, merah, penglihatan menurun, dan lakrimasi. Sedangkan pada uveitis anterior kronik mata terlihat putih dan gejala minimal meskipun telah terjadi inflamasi yang berat.
Tanda-tanda adanya uveitis anterior adalah injeksi silier, keratic precipitate (KP), nodul iris, sel-sel akuos, flare, sinekia posterior, dan sel-sel vitreus anterior.


b.  Uveitis Intermediet
Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun kadang-kadang penderita mengeluhkan gangguan penglihatan akibat edema makular sistoid kronik. Tanda dari uveitis intermediet adalah infiltrasi seluler pada vitreus (vitritis) dengan beberapa sel di COA dan tanpa lesi inflamasi fundus.


c.  Uveitis Posterior
Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan. Keluhan floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral.
Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti sel, flare, opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan vaskulitis.

d.  Panuveitis
Panuveitis merupakan kondisi terdapat infiltrasi sel kurang lebih merata di semua unsur di traktus uvealis. Ciri morfologi khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak ada.

10. Pencegahan
Bagi para perokok, sebaiknya berhenti merokok.

11. Diagnosis
Pemeriksaan dilakukan dengan oftalmologi (?????????????)
a.     Uveitis Anterior
·         Didapatkan injeksi silier
·         keratic precipitate pada kornea (kumpulan leukosit pada endotel. Tipe keratic precipitate dapat menunjukkan klasifikasi uveitis anterior. Keratic precipitate mutton-fat adalah karakteristik uveitis granulomatosa. Keratic precipitate stelata difus terlihat padairidosiklitis heterokromik Fuchs. Keratitis interstisial didapatkan pada pasien sifilis dan herpes.
·         Flare, yang merupakan protein, dapat terlihat di bilik depan. Jika leukosit di bilik depan ada dalam jumlah yang banyak, akan terlihat hipopion.
·         Pada kasus uveitis anterior akut, kecuali yang disebabkan herpes, tekanan intraockular seringkali rendah namun dapat meningkat pada kasus kronik. Inflamasi lama dapat menyebabkan sinekia posterior.
·         Nodul inflamasi pada iris menunjukkan uveitis granulomatosa. Atrofi iris mengarahkan pada herpes zoster sebagai penyebab.
·         Heterokromia adalah temuan klasik pada iridosiklitis heterokromia Fuchs.
·         Lensa dapat mengalami perubahan menajdi katarak yang menunjukkan keterlibatan lensa berulang. Presipitat inflamasi dapat terlihat pada kapsul lensa anterior.
b.    Uveitis Intermedia
·         Terdapat inflamasi segmen anterior ringan hingga sedang.
·         Kumpulan sel radang (”bola salju”) cenderung berakumulasi di basal vitreus. Di daerah tersebut dapat juga terdapat eksudat perivaskular dan neovaskularisasi. Sering terlihat eksudat kuning keputihan di retina perifer dan pars plana (”snowbanking”) yang menunjang diagnosis uveitis intermedia.
c.     Uveitis Posterior
·         Pada vaskulitis retina dengan funduskopi terlihat eksudasi perivaskular,
·         cell dan flare di  bilik depan, dan vitritis.
·         Dapat juga disertai perdarahan retina, cotton-wool spots, edema makular cystoid, neovaskularisasi, perdarahan vitreus, atau edema pupil.

12. Diagnosis Banding
a.       Konjungtivitis
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, terdapat secret dan umumnya tidak disertai rasa sakit, fotofobia atau injeksi silier
b.      Keratitis/ keratokonjungtivitis
Penglihatan dapat kabur pada keratitis, ada rasa sakit serta fotofobia.
c.       Glaukoma akut
Terdapat pupil yang melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya beruap/ keruh.
d.      Neoplasma
Large-cell lymphoma, retinoblastoma, leukemia dan melanoma maligna bisa terdiagnosa sebagai uveitis.

13. Pemeriksaan Penunjang
a.       Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, N. optikus dan radang pada koroid.
b.       USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan retina.
c.       Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau jenisnya non granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik. Sedangkan pada uveitis anterior yang tetap tidak responsive harus diusahan untuk menemukan diagnosis etiologinya.

14. Penatalaksanaan
Tujuan terapi uveitis adalah mencegah komplikasi yang mengancam penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika mungkin mengobati penyebabnya. Tatalaksana terpenting adalah dengan steroid topikal, periokular, atau sistemik dan sikloplegik. Steroid diindikasikan pada uveitis yang penyebabnya non infeksi. Pemilihan cara pemberian steroid sebagai berikut:
ü  Topikal
Untuk uveitis anterior digunakan steroid tetes mata. Frekuensi pemberian dapat setiap jam hingga 2 hari sekali. Steroid pilihannya adalah prednisolon asetat 1% yang botolnya harus dokocok sebelum digunakan. Selama penggunaan pasien dimonitor tiap 4-6 minggu untuk mencegah efek samping hipertensi okuli.
ü  Periokular
Jika steroid diharapkan bekerja di bagian posterior atau kepatuhan pasien rendah. Dapat diberikan transseptal atau sub-Tenon. Efek kerjanya lebih lama. Contohnya adalah triamsinolon asetonid. Cara ini tidak boleh diterapkan pada pasien uveitis atau skleritis yang infeksius.
ü  Sistemik
Jika terdapat penyakit sistemik yang juga perlu diterapi atau pada uveitis yang mengancam penglihatan yang tidak responsif pada cara pemberian steroid lain. Dapat diberikan oral atau intravena. Steroid oral yang sering digunakan adalah prednison. Oral antibiotika (Ciprofloxacin 500mg 2 kali sehari dan steroid tablet, bisa pertama dengan short high dose : methylprednisolon 1x48 mg selama 3 hari.
Sikloplegi tetes mata kerja pendek (siklopentolat) dan kerja panjang (atropin) dapat mengurangi fotofobia karena spasme siliar dan untuk mengatasi atau mencegah sinekia posterior. Pada kasus uveitis yang berat yang tidak responsive terhadap steroid atau pasien yang mengalami komplikasi dengan terapi standar, dapat digunakan imunosupresan.
Terapi imunomodulasi diberikan pada pasien yang memerlukan terapi steroid sistemik jangka panjang, seperti koroiditis serpiginosa, koroiditis birdshot, penyakit VKH, oftalmia simpatika, dan arthritis rheumatoid juvenilis.
Indikasi pembedahan pada uveitis adalah rehabilitasi visual, biopsi diagnostik, dan menghilangkan opasitas media refraksi agar dapat memonitor segmen posterior. Misalnya terjadinya katarak, glaukoma sekunder karena blok pupil atau penutupan sudut, ablasio retina. Sebelum pembedahan, terapi medis harus diintensifikasi minimal 3 bulan untuk meredakan inflamasi.
Uveitis intermedia dan posterior dapat menyebabkan kekeruhan vitreus yang signifikan yang tidak berespon pada terapi medis. Neovaskularisasi juga dapat terjadi pada vaskulitis atau oklusi vaskular sehingga menyebabkan perdarahan vitreus. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan vitrektomi. Vitrekomi juga diperlukan jika inflamasi intraokular tidak atau kurang berespon terhadap terapi atau ada kecurigaan neoplasia intraokular atau infeksi3.

15. Pengobatan
Pengobatan uveitis pada umumnya digunakan obat-obat intra okuler, seperti sikloplegik, OAINS atau kortikosteroid. Pada OAINS atau kortikosteroid, dapat juga digunakan obat-obatan secara sistemik. Selain itu pada pengobatan yang tidak berespon terhadap kortikosteroid, dapat digunakan imunomodulator.
·         Midriatik atau sikloplegik
Midriatik atau sikloplegik berfungsi dalam pencegahan terjadinya sinekia posterior dan menghilangkan efek fotofobia sekunder yang diakibatkan oleh spasme dari otot siliaris. Semakin berat reaksi inflamasi yang terjadi, maka dosis siklopegik yang dibutuhkan semakin tinggi.
·         OAINS
Dapat berguna sebagai terapi pada inflamasi post operatif, tapi kegunaan OAINS dalam mengobati uveitis anterior endogen masih belum dapat dibuktikan. Pemakaian OAINS yang lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti ulkus peptikum, perdarahan traktus digestivus, nefrotoksik dan hepatotoksik.
·         Kortikosteroid
Merupakan terapi utama pada uveitis. Digunakan pada inflamasi yang berat. Namun efek samping yang potensial, pemakaian kortikosteroid harus dengan indikasi yang spesifik, seperti pengobatan inflamasi aktif di mata dan mengurangi inflamasi intra okuler di retina, koroid dan N.optikus.
·         Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam penglihatan yang sudah tidak merespon terhadap kortikosteroid. Imunomodulator bekerja dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi inflamasi. Indikasi digunakannya imunomodulator adalah :
ü  Inflamasi intraocular yang mengancam penglihatan pasien.
ü  Gagal dengan terapi kortikosteroid.
ü  Kontra indikasi terhadap kortikosteroid.
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis pasien tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau kelainan darah. Dan sebelum dilakukan informed concent.
·         Analgetika
Analgetik dapat diberikan secara sistemik terutama diberikan pada kasus uveitis non granulomatosa, karena biasanya pasien mengeluhkan nyeri.

16. Komplikasi
a.         Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penupukan cairan ini bersama-samadengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor sehigga terjadi glaucoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan midriatika.
b.         Katarak
Kelainan polus anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan gangguan metabolism lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis lebih komplek lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi. Penelitian menunjukan bahwa fakoemulsifikasi dengan penanaman IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis.
Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini tergantung pada penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic iridocyclitis operasi berjalan baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan pada tipe lain (idiopatik, pars planitis, uveitis associated with sarcoidosis, HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo arthopathies) menimbulkan masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan hasil yang baik.
c.          Neovaskularisasi
d.         Ablasio retina
Akibat dari tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.
e.         Kerusakan Neovaskular optikus
f.           Atropi bola mata
g.         Edem Kisoid Makulae
Terjadi pada uveitis anterior yang berkepanjangan.

17. Daftar Pustaka
UVEITIS. Vivi Melinda, S. Ked. Faculty of Medicine, University of Riau, Pekanbaru, Riau. 2009.
PANUVEITIS. Yayan Akhyar Israr, S. Ked dan Riri Julianti, S. Ked. Faculty of Medicine, University of Riau, Pekanbaru, Riau. 2009.
http://www.scribd.com/doc/47403017/UVEITIS-ANTERIOR-referat input Selasa, 15 Mei 2012 pukul 23:05 WIB.
http://www.scribd.com/doc/57518614/Uveitis-Endogen input Selasa, 15 Mei 2012 pukul 22:56 WIB.
http://www.scribd.com/doc/60225646/Uveitis-Anterior input Selasa, 15 Mei 2012 pukul 22:58 WIB.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar