ryan koko's. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Reaksi Alergi




Hipersensitifitas menunjukkan suatu keadaan dimana respon spontan sistem imun manusia yang mengakibatkan reaksi berlebihan, tidak sesuai dan cenderung merugikan sang inang dan disebut “Alergi”. Reaksi ini secara khas terjadi pada orang-orang tertentu yang menunjukkan kondisi badan setelah kontak kedua dengan suatu antigen khusus (alergen) dan dapat menimbulkan reaksi patologis dalam badan. Kontak pertama merupakan peristiwa awal yang diperlukan dan menginduksi sensitivitas terhadap alergen itu.
Reaksi alergi dibagi dalam 2 golongan besar berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi, yaitu :
  1. Tipe Cepat (immediate type, antibody-mediated) ; Tipe I, II, III dan V
  2. Tipe Lambat (delayed type, cell-mediated) ; Tipe IV
Akan tetapi hanya empat jenis reaksi hipersensitifitas yang utama, Tipe I, II dan III adalah berperantara-antibodi dan Tipe IV berperantara-sel.
Table 1. Gell and Coombs classification of hypersensitivity reactions.
Type
Mechanism
Examples
I
IgE
Anaphylaxis, asthma, hay fever, eczema, food allergies
II
Cytotoxic Ab
HTR caused by ABO incompatibility, HDN caused by Rh incompatibility
III
Immune complexes
Arthus phenomenon, serum sickness, rheumatoid arthritis
IV
Cell-mediated
Koch’s phenomenon, contact dermatitis



Tipe I – Hipersensitifitas Segera (Anafilaksis)
Antigen bereaksi dengan antibodi tertentu (reagen atau antibodi homo-sitotrof yang terikat pada permukaan sel melalui tempat khas pada bagian Fc, misalnya IgE) yang terikat pada permukaan Mast Cell di dalam jaringan atau pada sel basofil di dalam peredaran darah. Reaksi tersebut mengakibatkan degranulasi Mast Cell disertai pengeluaran beberapa zat dengan efek farmakologis tertentu, seperti Histamin, Tromboksan dan Prostagladin.
Bentuk yang dapat terjadi adalah anafilaksis sistemik apabila terjadi pada setiap angota spesies dan alergi atopik (reaksi lokal) apabila hanya terjadi pada angoota tertentu dari suatu spesies. Tipe ini dapat diterapi dengan melawan daya kerja zat perantara atau mencegah pelepasan zat perantara dari granula Mast Cell yang dilakukan dengan mengenali alergen untuk menghindari antigen itu.

Tipe II – Hipersensitifitas Sitotoksik
Antigen yang terikat pada permukaan sel bereaksi dengan antibodi (misalnya reaksi hemaglutinasi dan hemolisis) dan menyebabkan :
  1. Fagositosis sel itu melalui proses Opsonic Adherence (Fc) atau Immune adeherens (C3).
  2. Reaksi sitotoksik ekstraseluler oleh sel K (Killler Cell) yang mempunyai reseptor untuk IgFc.
  3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen.
Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada atigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi darah atau penyakit Inkompabilitas hemolitik Rhesus,  transplantasi jaringan, reaksi auto-imun (Autoimmune reaction) dan reaksi obat.

Tipe III – Hipersensitifitas Kompleks Imun
Pembentukan suatu kompleks oleh antigen dan antibodi humoral dapat menyebabkan pengaktifan sistem komplemen dan pengumpalan trombosit. Dimanapun diendapkan, kompleks imun juga menunjukkan penarikan sel polimorfonuklear yang semuanya akan menyebabkan radang dan cedera jaringan. Biasanya  kompleks imun ini dengan cepat dibuang oleh sistem retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang dapat bertahan dan diendapkan dalam jaringan sehingga mengakibatkan beberapa penyakit. Reaksi hipersensitivitas tipe III adalah khas pada reaksi penyakit serum, selain penyakit kompleks imun dan atopi.
Akibat dari kompleks imun tidak hanya tergantung pada banyaknya tiap bahan, tetapi juga pada banyaknya tiap bahan tetapi juga perbandingan relatif dari bahan yang menentukan jenis kompleks yang dibentuk dan mempengaruhi penyebarannya didalam badan. Pada keadaan antibodi yang berlebihan (misalnya reaksi Arthus) kompleks yang dibentuk akan berpresipitasi di tempat masuknya antigen, sedangkan apabila antigen yang berlebihan (misalnya penyakit serum sickness) akan dibentuk kompleks yang dapat larut dan menyebabkan reaksi sistemik, serta ditimbun didalam ginjal (nefritis), sendi (artritis), atau pembuluh darah (vaskulitis).

Tipe IV – Hipersensitifitas Berperantara Sel (Lambat)
Merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi dan dapat dipindahkan oleh sel T yang terlibat secara imunologik pasif tetapi tidak oleh serum. Sel limfosit T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat Limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti Limfoblast yang mampu merusak sel target yang mengendung antigen dipermukaannya.
Respon lambat yang dimulai beberapa jam (atau hari) setelah kontak (hipersensitivitas Kontak) dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari. Respon ini terutama terdiri atas infiltrasi sel berinti satu dan indurasi jaringan seperti yang terlihat pada uji kulit tuberkulin (Hipersensitivitas Tipe-Tuberkulin). Hipersensitifitas lambat dan imunitas berperantara-sel saling berkaitan erat.

Beberapa literatur juga menjelaskan keberadaan tipe reaksi alergi kelima, sebagai berikut :
Tipe V – Hipersensitivitas ter-Stimulus
Ada banyak sel didalam badan yang fungsinya tergantung dari instruksi yang diterima melalui zat tertentu, misalnya hormon yang menempel pada permukaan sel melalui reseptor khas. Apabila auto-antibodi terhadap antigen menempel di permukaan sel maka akan terjadi kelainan yang merangsang sel itu sehingga tidak terkontrol

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar