DEPARTEMEN KESEHATAN R.I. 2004
KATA PENGANTAR
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk
keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Kesinambungan dan keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan
oleh tersedianya pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Lebih dari dua
dekade, penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia berpedoman pada
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang ditetapkan pada tahun 1982.
Memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan
tantangan strategis, baik eksternal maupun internal, yang harus diperhatikan
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Pembaharuan kebijakan pembangunan
kesehatan telah dilakukan pada tahun 1999 dan berhasil merumuskan visi pembangunan
kesehatan Indonesia yang baru yakni Indonesia Sehat 2010.
Pembaharuan kebijakan pembangunan kesehatan, selanjutnya perlu
diikuti dengan pembaharuan SKN. Diharapkan SKN yang baru ini mampu menjawab dan
merespon semua tantangan pembangunan kesehatan di masa kini maupun di masa yang
akan datang. Adanya SKN yang baru tersebut menjadi sangat penting mengingat
penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada saat ini semakin kompleks sejalan
dengan kompleksitas perkembangan demokrasi, desentralisasi, dan globalisasi
yang juga semakin meningkat.
Berkat rakhmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa, SKN yang baru
tersebut telah berhasil disusun dan diharapkan dapat dipergunakan sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia, tidak hanya
oleh sektor kesehatan di pusat dan daerah, tetapi juga oleh semua pihak terkait
termasuk masyarakat dan swasta.
Penyusunan SKN ini dilakukan dengan peran aktif berbagai pihak
yang meliputi sektor kesehatan di pusat dan daerah, lintas sektor, legislatif
dan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, organisasi
profesi, akademisi, para pakar serta media massa.
Perkenankan saya pada kesempatan ini menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak atas perhatian, bantuan dan masukan serta kontribusinya dalam penyusunan
SKN tersebut.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rakhmat dan hidayah
serta memberikan petunjuk dan kekuatan bagi kita sekalian dalam melaksanakan
pembangunan kesehatan di Indonesia dengan berpedoman pada Sistem Kesehatan
Nasional yang baru ini.
Jakarta, Februari 2004.
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Dr. Achmad Sujudi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tujuan nasional Bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan
tersebut diselenggarakanlah program pembangunan nasional secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional
yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh
potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan
dukungan Sistem Kesehatan Nasional yang tangguh. Di Indonesia, Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) telah ditetapkan pada tahun 1982. SKN tersebut telah berperanan
besar sebagai acuan dalam penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang
Kesehatan, penyusunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan juga
sebagai acuan dalam penyusunan berbagai kebijakan, pedoman dan arah pelaksanaan
pembangunan kesehatan.
Memasuki milenium ketiga, Indonesia menghadapi berbagai perubahan
dan tantangan strategis yang mendasar baik eksternal maupun internal, yang
perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pembangunan nasional termasuk
pembangunan kesehatan.
Dalam konteks eksternal, perubahan dan tantangan strategis yang terjadi
adalah berlangsungnya era globalisasi, perkembangan teknologi, transportasi,
dan telekomunikasi-informasi yang mengarah pada terbentuknya dunia tanpa batas.
Globalisasi yang ditandai oleh meningkatnya persaingan bebas, mengharuskan
setiap komponen bangsa meningkatkan daya saing. Sejalan dengan itu
demokratisasi, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan hidup telah menjadi
tuntutan dunia yang semakin mendesak. Keterikatan Indonesia dengan berbagai
komitmen internasional seperti Millennium Development Goals, Sustainable
Development Principles, World Fit for Children dan agenda-agenda
internasional lainnya di bidang kesehatan, perlu dipertimbangkan dalam
penyusunan kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Dalam konteks internal, perubahan dan tantangan strategis yang
terjadi adalah munculnya krisis moneter pada tahun 1997 yang kemudian
berkembang menjadi krisis multi-dimensi meliputi krisis politik, ekonomi, sosial,
budaya dan keamanan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Berbagai kondisi
tersebut berdampak luas terhadap perikehidupan masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara, diantaranya meningkatnya pengangguran dan jumlah penduduk miskin,
menurunnya derajat kesehatan penduduk yang pada gilirannya berpengaruh terhadap
mutu sumberdaya manusia Indonesia.
Tuntutan yang gencar terhadap perlu diselenggarakannya tata
kepemerintahan yang baik khususnya yang bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme merupakan tantangan yang mengemuka yang harus mendapat perhatian.
Makin mengemukanya peranan masyarakat madani, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
serta kalangan swasta dalam menentukan kebijakan publik perlu pula mendapat
tanggapan yang seksama.
Pengakuan akan pentingnya peranan daerah dalam menyelenggarakan
pembangunan nasional yang di Indonesia diwujudkan melalui diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, adalah
perubahan dan tantangan strategis internal yang perlu diperhatikan.
Dilakukannya amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) pada tahun 2002, yang menekankan pentingnya kesehatan sebagai hak
asasi manusia, juga merupakan perubahan dan tantangan strategis internal
lainnya.
Menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang ada,
Sidang MPR tahun 1998 telah menetapkan Ketetapan MPR R.I Nomor X Tahun 1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan. Ketetapan MPR ini mengamanatkan
perlu dilakukannya pembaharuan melalui reformasi total kebijakan pembangunan dalam
segala bidang. Untuk bidang kesehatan pembaharuan tersebut telah ditetapkan Gerakan
Pembangunan Berwawasan Kesehatan, sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan
visi pembangunan kesehatan, yaitu Indonesia Sehat 2010.
Selanjutnya berdasarkan visi tersebut, telah berhasil ditetapkan
pula dasar-dasar, misi, strategi dan paradigma pembangunan kesehatan yang baru
yaitu Paradigma Sehat yang inti pokoknya menekankan pentingnya kesehatan
sebagai hak asasi manusia, kesehatan sebagai investasi bangsa dan kesehatan menjadi
titik sentral pembangunan nasional. Dalam rangka melaksanakan kebijakan otonomi
daerah, desentralisasi merupakan salah satu strategi yang ditetapkan untuk
mencapai visi Indonesia Sehat 2010 dan misi pembangunan kesehatan.
Untuk mendukung keberhasilan pembaharuan kebijakan pembangunan
kesehatan yang telah dilakukan tersebut, perlu disusun SKN baru yang mampu
menjawab dan merespon berbagai tantangan pembangunan kesehatan, baik untuk masa
kini maupun untuk masa mendatang. Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya
mutu sumberdaya manusia (Human Development Index) yang penting artinya untuk meningkatkan
daya saing Bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. Kesehatan bersama
pendidikan dan ekonomi merupakan unsur utama yang menentukan mutu SDM tersebut.
B. MAKSUD DAN KEGUNAAN
Penyusunan SKN baru ini dimaksudkan untuk menyesuaikan SKN 1982
dengan berbagai perubahan dan tantangan eksternal dan internal, agar dapat
dipergunakan sebagai landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan pembangunan
kesehatan baik oleh masyarakat, swasta maupun oleh pemerintah (pusat, provinsi,
kabupaten/kota) serta pihak-pihak terkait lainnya.
Tersusunnya SKN baru mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam
rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas penyelenggaraan pembangunan
kesehatan sesuai dengan visi dan misinya, memantapkan kemitraan dan
kepemimpinan yang transformatif, meningkatkan pemerataan upaya kesehatan yang
terjangkau dan bermutu, serta meningkatkan investasi kesehatan untuk
keberhasilan pembangunan nasional.
SKN baru merupakan acuan dalam menerapkan pendekatan pelayanan
kesehatan primer (Primary Health Care) yang secara global telah diakui
sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua, yang
untuk Indonesia diformulasikan sebagai visi Indonesia Sehat.
BAB II
ANALISIS SITUASI DAN KECENDERUNGAN
SISTEM KESEHATAN NASIONAL
Sekalipun SKN 1982 secara nyata telah berhasil digunakan sebagai acuan
dalam menetapkan berbagai kebijakan kesehatan di Indonesia, namun jika ditinjau
dari pencapaian dan kinerjanya, SKN 1982 tersebut masih belum begitu
menggembirakan. Sesuai dengan laporan WHO tahun 2000 (the World Health
Report 2000) tentang “Health Systems Improving Performance”, tercatat
indikator pencapaian dan indikator kinerja Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
Indonesia masih terhitung rendah.
Indikator pencapaian SKN ditentukan oleh dua determinan. Pertama,
status kesehatan yakni yang menunjuk pada tingkat kesehatan yang berhasil
dicapai oleh SKN yang dihitung dengan menggunakan disability adjusted life
expectancy (DALE). Kedua, tingkat ketanggapan (responsiveness) sistem
kesehatan yakni yang menunjuk pada kemampuan SKN dalam memenuhi harapan
masyarakat tentang bagaimana mereka ingin diperlakukan dalam memperoleh
pelayanan kesehatan. Hasil yang diperoleh untuk indikator ini menempatkan
Indonesia pada urutan ke 106 dari 191 negara anggota WHO yang dinilai.
Indikator kinerja SKN ditentukan oleh tiga determinan. Pertama,
distribusi tingkat kesehatan di suatu Negara ditinjau dari kematian Balita.
Kedua, distribusi ketanggapan (responsiveness) sistem kesehatan ditinjau
dari harapan masyarakat. Ketiga, distribusi pembiayaan kesehatan ditinjau dari
penghasilan keluarga. Hasil yang diperoleh untuk indikator ini menempatkan
Indonesia pada urutan ke 92 dari 191 negara anggota WHO yang dinilai.
Karena indikator pencapaian SKN menunjuk pada tingkat kesehatan yang
berhasil dicapai dan tingkat ketanggapan SKN, maka indikator ini terutama
dipengaruhi oleh upaya kesehatan yang diselenggarakan di suatu negara. Jika
upaya kesehatan tersebut tidak tersedia dan tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat, maka sulit diharapkan meningkatnya taraf kesehatan masyarakat.
Karena indikator kinerja SKN menunjuk pada distribusi status
kesehatan dan ketanggapan SKN, maka indicator ini terutama dipengaruhi oleh
sumberdaya kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan. Jika
ketiga aspek ini tidak berada pada kondisi optimal, maka dapat dipastikan kinerja
pelayanan kesehatan tidak akan memuaskan. Sedangkan khusus untuk indikator
kinerja SKN yang dikaitkan dengan keadilan dalam kontribusi pembiayaan
kesehatan, faktor yang mempengaruhinya adalah pembiayaan kesehatan. Jika jumlah
dan distribusi biaya kesehatan tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok dan atau
wilayah kerja yang dilayani, maka keadilan dalam pembiayaan kesehatan tidak
akan tercapai.
Analisis situasi dan kecenderungan perkembangan berbagai aspek
yang mempengaruhi pencapaian dan kinerja sistem kesehatan nasional di Indonesia
secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Upaya kesehatan
Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat
peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang.
Jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai.
Tercatat jumlah Puskesmas untuk seluruh Indonesia sebanyak 7.237 unit,
Puskesmas Pembantu sebanyak 21.267 unit dan Puskesmas Keliling 6.392 unit.
Untuk rumah sakit terdapat sebanyak 1.215 RS, terdiri dari 420 RS milik
pemerintah, 605 RS milik swasta, 78 RS milik BUMN dan 112 RS milik TNI &
Polri, dengan jumlah seluruh tempat tidur sebanyak 130.214 buah. Penyebaran
sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Rasio sarana dan prasarana kesehatan
terhadap jumlah penduduk di luar pulau Jawa lebih baik dibandingkan dengan di
Pulau Jawa. Hanya saja keadaan transportasi di luar Pulau Jawa jauh lebih buruk
dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Meskipun sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah seperti
Puskesmas telah terdapat di semua kecamatan dan ditunjang paling sedikit oleh
tiga Puskesmas Pembantu, namun upaya kesehatan belum dapat dijangkau oleh
seluruh masyarakat. Indonesia memang masih menghadapi permasalahan pemerataan
dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Diperkirakan hanya sekitar 30% penduduk
yang memanfaatkan pelayanan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Selanjutnya
meskipun rumah sakit telah terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun
sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan juga belum dapat berjalan dengan
semestinya.
Sementara itu berbagai sarana pelayanan yang dikelola oleh sektor
lain di luar kesehatan, termasuk yang dikelola oleh TNI/POLRI dan BUMN,
sekalipun telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan kesehatan, namun
dalam kenyataannya belum sepenuhnya merupakan bagian integral dari upaya
kesehatan secara keseluruhan.
Potensi pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis
masyarakat yang semakin meningkat, belum didayagunakan sebagaimana mestinya.
Sementara itu keterlibatan dinas kesehatan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan masyarakat dan keterkaitannya dengan pelayanan rumah sakit sebagai sarana
pelayanan rujukan masih dirasakan sangat kurang.
Dengan keadaan seperti ini tidak mengherankan bila derajat
kesehatan masyarakat di Indonesia belum memuaskan. Angka Kematian Bayi dan
Angka Kematian Ibu masih tinggi, yakni masing-masing 50/1000 kelahiran hidup
(Susenas 2001) dan 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995). Sedangkan umur
harapan hidup masih rendah, yakni rata-rata 66,2 tahun (tahun 1999). Kondisi
ini berakibat pada masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia,
yang menduduki urutan ke 112 dari 175 negara (UNDP, 2003).
2. Pembiayaan kesehatan
Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya
rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata antara USD 12-18
per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran Organisasi
Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari PDB per tahun. Tiga puluh persen
dari pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah dan sisanya sebesar 70%
bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan
untuk pelayanan kuratif.
Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan
sampai saat ini belum begitu efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan
pada upaya kuratif dan sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk
upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum
cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk
keluarga miskin. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih
terbatas serta bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah
masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni kurang dari
20% penduduk. Metoda pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi
oleh pembayaran tunai sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian
pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan.
Demikian pula penerapan teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sebagai
akibat meningkatnya umur harapan hidup akan mendorong meningkatnya biaya
kesehatan yang tidak dapat dihindari.
Tingginya angka kesakitan juga berdampak terhadap biaya kesehatan
yang pada gilirannya akan
memperberat beban ekonomi. Hal ini terkait dengan besarnya dana
yang harus dikeluarkan untuk berobat, serta hilangnya pendapatan akibat tidak
bekerja. Sebagai contoh beban dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
penyakit TBC di Indonesia diperkirakan tidak kurang dari Rp 2,5 triliun per
tahun.
Sementara itu anggaran pembangunan berbagai sektor lain belum sepenuhnya
mendukung pembangunan kesehatan. Anggaran pembangunan sektor pertanian misalnya
tidak memperhitungkan biaya penanggulangan efek samping penggunaan pestisida.
Demikian pula untuk biaya penanggulangan dampak pencemaran lingkungan yang
ditemukan antara lain pada sektor perhubungan, perindustrian dan pertambangan.
3. Sumberdaya Manusia Kesehatan
Jumlah sumberdaya manusia (SDM) kesehatan belum memadai. Rasio tenaga
kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah. Produksi dokter setiap tahun
sekitar 2.500 dokter baru, sedangkan rasio dokter terhadap jumlah penduduk
1:5000. Produksi perawat setiap tahun sekitar 40.000 perawat baru, dengan rasio
terhadap jumlah penduduk 1:2.850. Sedangkan produksi bidan setiap tahun sekitar
600 bidan baru, dengan rasio terhadap jumlah penduduk 1:2.600. Namun daya serap
tenaga kesehatan oleh jaringan pelayanan kesehatan masih terbatas.
Penyebaran SDM Kesehatan juga belum menggembirakan, sekalipun sejak
tahun 1992 telah diterapkan kebijakan penempatan tenaga dokter dan bidan dengan
sistem PTT. Tercatat rasio dokter terhadap Puskesmas untuk kawasan Indonesia
bagian barat, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah bagian timur. Rasio
tenaga dokter terhadap Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara = 0,84 dibanding
dengan Provinsi NTT = 0,26 dan Provinsi Papua = 0,12.
Mutu SDM Kesehatan masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin
dari kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang belum optimal.
Menurut SUSENAS 2001, ditemukan 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di
Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan
yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah di kedua pulau tersebut.
Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan
pelatihan berjenjang dan
berkelanjutan, akreditasi pendidikan dan pelatihan serta
sertifikasi, registrasi dan lisensi SDM kesehatan belum mantap. Sampai saat ini
sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi SDM di Indonesia belum mencakup aspek
profesionalisme. Sistem yang dipergunakan pada saat ini, karena hanya dilakukan
oleh Departemen Kesehatan masih bersifat administratif. Kerja sama lintas
program, lintas sektor dan dengan organisasi profesi serta lembaga swadaya
masyarakat dalam pengembangan tenaga kesehatan masih terbatas.
4. Sumberdaya Obat dan Perbekalan Kesehatan
Industri farmasi di Indonesia telah sejak lama berhasil
dikembangkan. Tercatat jumlah industri farmasi di Indonesia sebanyak 198 buah,
terdiri dari 34 PMA, 4 BUMN dan 160 PMDN/Swasta Nasional. Jumlah perusahaan
yang bergerak dalam distribusi obat (PBF) tercatat sebanyak 1.473 buah.
Sedangkan jumlah apotik tercatat sebanyak 6.058 buah serta toko obat sebanyak
4.743 buah. Mutu industri farmasi juga telah berhasil distandarisasi yakni
dengan ditetapkannya cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Untuk menunjang
upaya kesehatan, terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah, telah
ditetapkan kebijakan obat generik yang mencakup 220 jenis obat. Hal yang masih
menjadi masalah di bidang pelayanan kefarmasian, obat, sediaan farmasi, alat
kesehatan, vaksin, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT),
insektisida dan reagensia adalah yang menyangkut ketersediaan, keamanan,
manfaat, serta mutu dengan jumlah dan jenis yang cukup serta terjangkau, merata
dan mudah diakses oleh masyarakat.
Pengawasan perbekalan dan alat kesehatan sejak dari produksi,
distribusi sampai dengan pemanfaatannya belum dilakukan dengan optimal. Sedangkan
pengadaannya untuk sarana kesehatan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan.
5. Pemberdayaan Masyarakat
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia tidak terlepas
dari partisipasi aktif masyarakat. Untuk itu berbagai bentuk upaya kesehatan
berbasis masyarakat banyak didirikan, antara lain dalam bentuk Posyandu yang
berjumlah sekitar 240.000 buah, 33.083 Polindes, 12.414 Pos Obat Desa, serta
4.049 Pos Upaya Kesehatan Kerja. Sedangkan dalam pembiayaan kesehatan,
pemberdayaan masyarakat diwujudkan melalui bentuk dana sehat yang berjumlah
23.316 serta berbagai yayasan peduli dan penyandang dana kesehatan seperti
Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Thalasemia
Indonesia, serta Yayasan Ginjal Indonesia.
Dalam rangka mempercepat tercapainya Indonesia Sehat 2010, pemberdayaan
masyarakat dilaksanakan pula dalam berbagai bentuk, seperti Koalisi Indonesia
Sehat, Gebrak Malaria, Gerdunas TB, Gerakan Sayang Ibu, gerakan anti madat
serta gerakan pita putih (Kesehatan Ibu) dan gerakan pita merah (Gerakan Nasional
Penanggulangan HIV/AIDS).
Sayangnya pemberdayaan masyarakat dalam arti mengembangkan kesempatan
yang lebih luas bagi masyarakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan
tentang kesehatan masih dilaksanakan secara terbatas. Kecuali itu lingkup
pemberdayaan masyarakat masih dalam bentuk mobilisasi masyarakat. Sedangkan
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan serta pengawasan
sosial dalam program pembangunan kesehatan belum banyak dilaksanakan.
Jaringan kemitraan antara sektor pemerintahan dan swasta belum
dikembangkan secara optimal. Program-program kemitraan pemerintah dan swasta (Public
and private mix) masih dalam tahap perintisan. Kemitraan yang telah
dibangun belum menampakkan kepekaan, kepedulian dan rasa memiliki terhadap permasalahan
dan upaya kesehatan.
6. Manajemen Kesehatan
Keberhasilan manajemen kesehatan sangat ditentukan antara lain
oleh tersedianya data dan informasi kesehatan, dukungan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan, dukungan hukum kesehatan serta
administrasi kesehatan.
Selama ini sistem informasi manajemen kesehatan telah berhasil
dikembangkan. Sistem tersebut mencakup antara lain sistem informasi manajemen
Puskesmas (SIMPUS), sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS), sistem
informasi manajemen kepegawaian (SIMKA), sistem survailans penyakit menular,
system survailans penyakit tidak menular serta sistem jaringan penelitian dan pengembangan
kesehatan nasional (JPPKN). Dengan berlakunya kebijakan desentralisasi berbagai
sistem informasi ini perlu ditinjau dan ditata ulang.
Penerapan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan telah
dilaksanakan sesuai dengan perkembangan. Penerapan tersebut diutamakan pada
IPTEK tepat guna untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) serta
IPTEK canggih untuk pelayanan kesehatan rujukan. Pada saat ini banyak rumah
sakit di Indonesia, terutama rumah sakit klas A dan klas B pendidikan telah
dilengkapi dengan berbagai peralatan kedokteran mutakhir. Mengingat tantangan
yang besar pada era globalisasi, maka untuk hasil yang optimal, berbagai
kemajuan IPTEK ini perlu dikembangkan secara lebih terarah dan sistematis.
Hukum kesehatan, terutama yang menyangkut upaya kesehatan masyarakat,
secara bertahap telah dikembangkan. Hukum tersebut antara lain tertuang dalam
Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-undang
nomor 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut, Undang-undang nomor 2 tahun 1962
tentang Karantina Udara, Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan serta Undang-undang nomor 8 tahun 1998 tentang
Perlindungan Konsumen. Mengingat kesadaran hukum masyarakat makin meningkat,
maka pada masa mendatang hukum kesehatan tersebut perlu lebih dikembangkan,
sehingga dapat dijamin adanya kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan
SKN.
Administrasi kesehatan, yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan kesehatan di
berbagai tingkat dan bidang, sudah dikembangkan. Pada saat ini telah disusun
berbagai panduan administrasi kesehatan, termasuk didalamnya Rencana Pembangunan
Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan 2001-2004
serta sistem perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT). Pada masa
yang akan datang berbagai panduan ini perlu disempurnakan, seperti sistem
penganggaran yang berbasis kinerja, untuk selanjutnya dilengkapi dengan panduan
tentang Kewenangan Wajib serta Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka
desentralisasi.
BAB III
POKOK-POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL
A. PENGERTIAN SKN
SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud
dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari rumusan pengertian di atas, jelaslah SKN tidak hanya menghimpun
upaya sektor kesehatan saja melainkan juga upaya dari berbagai sektor lainnya
termasuk masyarakat dan swasta. Sesungguhnyalah keberhasilan pembangunan
kesehatan tidak ditentukan hanya oleh sektor kesehatan saja.
Dengan demikian, pada hakikatnya SKN adalah juga merupakan wujud
dan sekaligus metode
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, yang memadukan berbagai
upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan.
B. LANDASAN SKN
SKN yang merupakan wujud dan metode penyelenggaraan pembangunan
kesehatan adalah bagian dari Pembangunan Nasional. Dengan demikian landasan SKN
adalah sama dengan landasan Pembangunan Nasional. Secara lebih spesifik
landasan tersebut adalah:
1. Landasan idiil yaitu Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Landasan konstitusional yaitu UUD 1945, khususnya:
a. Pasal 28 A; setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
b. Pasal 28 B ayat (2); setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang.
c. Pasal 28 C ayat (1); setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
d. Pasal 28 H ayat (1); setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, dan ayat (3); setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
e. Pasal 34 ayat (2); negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan, dan ayat (3); negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
C. PRINSIP DASAR SKN
Prinsip dasar SKN adalah norma, nilai dan aturan pokok yang
bersumber dari falsafah dan budaya Bangsa Indonesia, yang dipergunakan sebagai
acuan berfikir dan bertindak dalam penyelenggaraan SKN. Prinsipprinsip dasar
tersebut meliputi:
1. Perikemanusiaan
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip perikemanusiaan yang
dijiwai, digerakkan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Terabaikannya
pemenuhan kebutuhan kesehatan adalah bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan. Tenaga
kesehatan dituntut untuk tidak diskriminatif serta selalu
menerapkan prinsip-prinsip perikemanusiaan dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan.
2. Hak Asasi Manusia
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia.
Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah
salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status
sosial ekonomi. Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
3. Adil dan Merata
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip adil dan merata.
Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, perlu
diselenggarakan upaya kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat secara adil dan merata, baik geografis maupun ekonomis.
4. Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip pemberdayaan dan
kemandirian masyarakat. Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat beserta lingkungannya.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus berdasarkan pada kepercayaan atas kemampuan
dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas sosial
dan gotong royong.
5. Kemitraan
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip kemitraan.
Pembangunan kesehatan harus
diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan
harmonis antara pemerintah dan masyarakat termasuk swasta, dengan
mendayagunakan potensi yang dimiliki. Kemitraan antara pemerintah dengan
masyarakat termasuk swasta serta kerjasama lintas sektor dalam pembangunan kesehatan
diwujudkan dalam suatu jejaring yang berhasil-guna dan berdaya-guna, agar
diperoleh sinergisme yang lebih mantap dalam rangka mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggitingginya.
6. Pengutamaan dan Manfaat
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip pengutamaan dan
manfaat. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan lebih mengutamakan
kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan maupun golongan. Upaya
kesehatan yang bermutu dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara berhasil-guna dan berdayaguna,
dengan mengutamakan upaya kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi agar
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan
masyarakat beserta lingkungannya.
7. Tata kepemerintahan yang baik
Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis,
berkepastian hukum, terbuka
(transparent), rasional/profesional, serta bertanggung jawab
dan bertanggung gugat (accountable).
D. TUJUAN SKN
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh
semua potensi bangsa, baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna
dan berdaya-guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
E. KEDUDUKAN SKN
1. Suprasistem SKN
Suprasistem SKN adalah Sistem Penyelenggaraan Negara. SKN bersama
dengan berbagai subsistem lain, diarahkan untuk mencapai Tujuan Bangsa
Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
2. Kedudukan SKN terhadap sistem nasional lain
Terwujudnya keadaan sehat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang
tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, melainkan juga
tanggungjawab dari berbagai sektor lain terkait yang terwujud dalam berbagai
bentuk sistem nasional. Dengan demikian SKN harus berinteraksi secara harmonis dengan
berbagai sistem nasional tersebut, seperti:
• Sistem Pendidikan Nasional,
• Sistem Perekonomian Nasional
• Sistem Ketahanan Pangan Nasional
• Sistem Hankamnas, dan
• Sistem-sistem nasional lainnya
Dalam keterkaitan dan interaksinya, SKN harus dapat mendorong kebijakan
dan upaya dari berbagai sistem nasional sehingga berwawasan kesehatan. Dalam
arti sistem-sistem nasional tersebut berkontribusi positip terhadap
keberhasilan pembangunan kesehatan.
3. Kedudukan SKN terhadap Sistem Kesehatan Daerah (SKD)
Untuk menjamin keberhasilan pembangunan kesehatan di daerah perlu
dikembangkan Sistem
Kesehatan Daerah (SKD). Dalam kaitan ini kedudukan SKN merupakan
suprasistem dari SKD.
SKD menguraikan secara spesifik unsur-unsur upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sumberdaya obat dan perbekalan kesehatan,
pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan sesuai dengan potensi dan
kondisi daerah. SKD merupakan acuan bagi berbagai pihak dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di daerah.
4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem kemasyarakatan
termasuk swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan
sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai
sistem kemasyarakatan. Di pihak lain, berbagai sistem kemasyarakatan merupakan
bagian integral yang membentuk SKN. Dalam kaitan ini SKN merupakan bagian dari
sistem kemasyarakatan yang dipergunakan sebagai acuan utama dalam mengembangkan
perilaku dan lingkungan sehat serta peran aktif masyarakat dalam berbagai upaya
kesehatan. Sebaliknya sistem nilai dan budaya yang hidup di masyarakat harus
mendapat perhatian dalam SKN.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan oleh peran
aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi swasta merupakan bagian integral dari
SKN. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang kemitraan yang
setara, terbuka dan saling menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN
harus dapat mewarnai potensi swasta sehingga sejalan dengan tujuan pembangunan nasional
yang berwawasan kesehatan.
F. SUBSISTEM SKN
Sesuai dengan pengertian SKN, maka subsistem pertama SKN adalah
upaya kesehatan. Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan
menghimpun seluruh potensi Bangsa Indonesia. Penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan
tersebut memerlukan dukungan dana, sumberdaya manusia, sumberdaya obat dan
perbekalan kesehatan sebagai masukan SKN.
Dukungan dana sangat berpengaruh terhadap pembiayaan kesehatan
yang semakin penting dalam menentukan kinerja SKN. Mengingat kompleksnya
pembiayaan kesehatan, maka pembiayaan kesehatan merupakan subsistem kedua SKN.
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumberdaya manusia
yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya sesuai tuntutan kebutuhan
pembangunan kesehatan. Oleh karenanya sumberdaya manusia kesehatan juga sangat
penting dalam meningkatkan kinerja SKN dan merupakan subsistem ketiga dari SKN.
Sumberdaya kesehatan lainnya yang penting dalam menentukan kinerja
SKN adalah sumberdaya obat dan perbekalan kesehatan. Permasalahan obat dan
perbekalan kesehatan sangat kompleks karena menyangkut aspek mutu, harga,
khasiat, keamanan, ketersediaan dan keterjangkauan bagi konsumen kesehatan.
Oleh karena itu, obat dan perbekalan kesehatan merupakan subsistem keempat dari
SKN.
Selanjutnya, SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata sebagai obyek
pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subyek atau penyelenggara dan
pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi
sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai
pelaku pembangunan kesehatan. Sehubungan dengan itu, pemberdayaan masyarakat
merupakan subsistem kelima SKN.
Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan
berdaya-guna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan
adalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi serta penyerasian upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumberdaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
Berhasil atau tidaknya pembangunan kesehatan ditentukan oleh manajemen
kesehatan. Oleh karena itu manajemen kesehatan merupakan subsistem keenam SKN.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SKN terdiri dari enam
subsistem, yakni:
1. Subsistem Upaya Kesehatan
2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan
3. Subsistem Sumberdaya Manusia Kesehatan
4. Subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan
5. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
6. Subsistem Manajemen Kesehatan
BAB IV
SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem upaya kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai
upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) secara
terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem upaya kesehatan adalah terselenggaranya upaya
kesehatan yang tercapai (accessible), terjangkau (affordable) dan
bermutu (quality) untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan
guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem upaya kesehatan terdiri dari dua unsur utama, yakni
upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP).
UKM adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. UKM
mencakup upaya-upaya promosi kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pemberantasan
penyakit menular, kesehatan jiwa, pengendalian penyakit tidak menular,
penyehatan lingkungan dan penyediaan sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat,
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan penggunaan zat aditif
(bahan tambahan makanan) dalam makanan dan minuman, pengamanan narkotika,
psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya, serta penanggulangan bencana dan
bantuan kemanusiaan.
UKP adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan. UKP
mencakup upaya-upaya promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan rawat
jalan, pengobatan rawat inap, pembatasan dan pemulihan kecacatan yang ditujukan
terhadap perorangan. Dalam UKP juga termasuk pengobatan tradisional dan alternatif
serta pelayanan kebugaran fisik dan kosmetika.
Kedua upaya kesehatan tersebut bersinergi dan dilengkapi dengan
berbagai upaya kesehatan penunjang. Upaya penunjang untuk UKM antara lain
adalah pelayanan laboratorium kesehatan masyarakat dan pelayanan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya. Sedangkan upaya
penunjang untuk UKP antara lain adalah pelayanan laboratorium klinik, apotek,
optik dan toko obat.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem Upaya Kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. UKM terutama diselenggarakan oleh pemerintah dengan peran aktif
masyarakat dan swasta.
2. UKP diselenggarakan oleh masyarakat, swasta dan pemerintah.
3. Penyelenggaraan upaya kesehatan oleh swasta harus memperhatikan
fungsi sosial.
4. Penyelenggaraan upaya kesehatan harus bersifat menyeluruh,
terpadu, berkelanjutan,
terjangkau, berjenjang, profesional dan bermutu.
5. Penyelenggaraan upaya kesehatan, termasuk pengobatan
tradisional dan alternatif, harus
tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah.
6. Penyelenggaraan upaya kesehatan harus sesuai dengan nilai dan
norma sosial budaya serta
moral dan etika profesi.
E. BENTUK POKOK
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
UKM strata pertama
Yang dimaksud dengan UKM strata pertama adalah UKM tingkat dasar,
yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar yang
ditujukan kepada masyarakat.
Ujung tombak penyelenggara UKM strata pertama adalah Puskesmas
yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya satu di
setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah
kerjanya.
Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni sebagai (1) pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan dan (3) pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.
Sekurang-kurangnya ada enam jenis pelayanan tingkat dasar yang harus
dilaksanakan oleh Puskesmas, yakni promosi kesehatan, kesehatan ibu, anak dan
keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit
menular dan pengobatan dasar. Peran aktif masyarakat dan swasta dalam
penyelenggaraan UKM strata pertama diwujudkan melalui
berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampai
dengan upaya kesehatan bersama yang bersumber masyarakat (UKBM). Pada saat ini
telah berhasil dikembangkan berbagai bentuk UKBM seperti Posyandu, Polindes,
Pos Obat Desa, Pos Upaya Kesehatan Kerja dan Dokter Kecil dalam Usaha Kesehatan
Sekolah.
UKM strata kedua
Yang dimaksud dengan UKM strata kedua adalah UKM tingkat lanjutan,
yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik
yang ditujukan kepada masyarakat.
Penanggung jawab UKM strata kedua adalah Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang didukung secara lintas sektoral. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota mempunyai dua fungsi utama, yakni fungsi manajerial dan fungsi teknis
kesehatan.
Fungsi manajerial mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan di
kabupaten/kota. Fungsi teknis kesehatan mencakup penyediaan pelayanan kesehatan
masyarakat tingkat lanjutan, yakni dalam rangka melayani kebutuhan rujukan
Puskesmas.
Untuk dapat melaksanakan fungsi teknis kesehatan, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dilengkapi dengan berbagai unit pelaksana teknis seperti unit
pencegahan dan pemberantasan penyakit, promosi kesehatan, pelayanan
kefarmasian, kesehatan lingkungan, perbaikan gizi dan kesehatan ibu, anak dan
keluarga berencana. Unit-unit tersebut di samping memberikan pelayanan langsung
juga membantu Puskesmas dalam bentuk pelayanan rujukan kesehatan masyarakat.
Yang dimaksud dengan rujukan kesehatan masyarakat adalah pelimpahan
wewenang dan tanggungjawab atas masalah kesehatan masyarakat yang dilakukan secara
timbal balik, baik vertikal maupun horizontal. Rujukan kesehatan masyarakat
dibedakan atas tiga aspek yakni, rujukan sarana, rujukan teknologi dan rujukan
operasional.
UKM strata ketiga.
Yang dimaksud dengan UKM strata ketiga adalah UKM tingkat unggulan,
yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
subspesialistik yang ditujukan kepada masyarakat.
Penanggung jawab UKM strata ketiga adalah Dinas Kesehatan Provinsi
dan Departemen Kesehatan yang didukung secara lintas sektoral. Dinas Kesehatan
Provinsi dan Departemen Kesehatan mempunyai dua fungsi, yakni fungsi manajerial
dan fungsi teknis kesehatan.
Fungsi manajerial mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
serta pengawasan dan pertanggung-jawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan
di provinsi/nasional. Fungsi teknis kesehatan mencakup penyediaan pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat unggulan, yakni dalam rangka melayani kebutuhan
rujukan dari kabupaten/kota dan provinsi.
Dalam melaksanakan fungsi teknis kesehatan, Dinas Kesehatan
Provinsi dan Departemen Kesehatan perlu didukung oleh berbagai pusat unggulan
yang dikelola oleh sektor kesehatan dan sektor pembangunan lainnya. Contoh
pusat unggulan yang dimaksud adalah Institut Gizi Nasional, Institut Penyakit
Infeksi Nasional, Institut Kesehatan Jiwa Nasional, Institut Ketergantungan Obat
Nasional, Institut Promosi Kesehatan Nasional, Institut Kesehatan Kerja
Nasional, dan Pusat Laboratorium Nasional, Institut Survailans dan Teknologi
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan serta berbagai pusat unggulan lainnya. Pusat
unggulan ini di samping menyelenggarakan pelayanan langsung juga membantu Dinas
Kesehatan dalam bentuk pelayanan rujukan kesehatan.
1. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
a. UKP strata pertama
Yang dimaksud dengan UKP strata pertama adalah UKP tingkat dasar,
yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar yang ditujukan
kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata pertama adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta yang diwujudkan melalui berbagai bentuk pelayanan profesional, seperti
praktik bidan, praktik perawat, praktik dokter, praktik dokter gigi,
poliklinik, balai pengobatan, praktik dokter/klinik 24 jam, praktik bersama dan
rumah bersalin.
UKP strata pertama oleh pemerintah juga diselenggarakan oleh
Puskesmas. Dengan demikian
Puskesmas memiliki dua fungsi pelayanan yakni pelayanan kesehatan
masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan. Untuk meningkatkan cakupan,
Puskesmas dilengkapi dengan Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Pondok
Bersalin Desa dan Pos Obat Desa. Pondok Bersalin Desa dan Pos Obat Desa
termasuk dalam sarana kesehatan bersumber masyarakat.
Dalam UKP strata pertama juga termasuk pelayanan pengobatan tradisional
dan alternatif, serta pelayanan kebugaran fisik dan kosmetika. Pelayanan
pengobatan tradisional dan alternatif yang diselenggarakan adalah yang secara
ilmiah telah terbukti keamanan dan khasiatnya. UKP strata pertama didukung oleh
berbagai pelayanan penunjang seperti toko obat dan apotek (dengan kewajiban menyediakan
obat esensial generik), laboratorium klinik dan optik.
Untuk menjamin dan meningkatkan mutu UKP strata pertama perlu
dilakukan berbagai program kendali mutu baik yang bersifat prospektif meliputi
lisensi, sertifikasi dan akreditasi, maupun yang bersifat konkuren ataupun
retrospektif seperti gugus kendali mutu.
Untuk masa mendatang, apabila sistem jaminan kesehatan nasional
telah berkembang, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan UKP strata pertama
melalui Puskesmas. Penyelenggaraan UKP strata pertama akan diserahkan kepada
masyarakat dan swasta dengan menerapkan konsep dokter keluarga, kecuali di
daerah yang sangat terpencil masih dipadukan dengan pelayanan Puskesmas.
b. UKP strata kedua
Yang dimaksud dengan UKP strata kedua adalah UKP tingkat lanjutan,
yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik
yang ditujukan kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata kedua adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta yang diwujudkan
dalam bentuk praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi
spesialis, klinik spesialis, balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4), balai
kesehatan mata masyarakat (BKMM), balai kesehatan jiwa masyarakat (BKJM), rumah
sakit kelas C dan B non pendidikan milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan
BUMN) dan rumah sakit swasta.
Berbagai sarana pelayanan ini disamping memberikan pelayanan
langsung juga membantu sarana UKP strata pertama dalam bentuk pelayanan rujukan
medik. Yang dimaksud dengan pelayanan rujukan medik adalah pelimpahan wewenang
dan tanggungjawab atas kasus penyakit yang dilakukan secara timbal balik baik
secara vertikal, maupun horizontal. Rujukan medik terdiri dari tiga aspek
yakni, rujukan kasus, rujukan ilmu pengetahuan serta rujukan bahan-bahan
pemeriksaan laboratorium.
UKP strata kedua ini juga didukung oleh berbagai pelayanan penunjang
seperti apotek, laboratorium klinik dan optik. Untuk meningkatkan mutu perlu
dilakukan berbagai bentuk program kendali mutu.
c. UKP strata ketiga
Yang dimaksud dengan UKP strata ketiga adalah UKP tingkat
unggulan, yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
subspesialistik yang ditujukan kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata ketiga adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta yang diwujudkan dalam bentuk praktik dokter spesialis konsultan, praktik
dokter gigi spesialis konsultan, klinik spesialis konsultan, rumah sakit kelas
B pendidikan dan kelas A milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN) serta
rumah sakit khusus dan rumah sakit swasta. Berbagai sarana pelayanan ini di samping
memberikan pelayanan langsung juga membantu sarana UKP strata
kedua dalam bentuk pelayanan rujukan medik. Seperti UKP strata kedua,
UKP strata ketiga ini juga didukung oleh berbagai pelayanan penunjang seperti
apotek, laboratorium klinik dan optik.
Untuk menghadapi persaingan global, UKP strata ketiga perlu dilengkapi
dengan beberapa pusat pelayanan unggulan nasional, seperti pusat unggulan
jantung nasional, pusat unggulan kanker nasional, pusat penanggulangan stroke
nasional, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan mutu perlu dilakukan berbagai bentuk program
kendali mutu.
BAB V
SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang menghimpun
berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumberdaya keuangan
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan
kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan
termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga unsur utama,
yakni penggalian dana, alokasi dana, dan pembelanjaan. Penggalian dana adalah
kegiatan menghimpun dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan
dan atau pemeliharaan kesehatan. Alokasi dana adalah penetapan peruntukan pemakaian
dana yang telah berhasil dihimpun, baik yang bersumber dari pemerintah,
masyarakat maupun swasta.
Pembelanjaan adalah pemakaian dana yang telah dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja sesuai dengan peruntukannya dan atau dilakukan melalui
jaminan pemeliharaan kesehatan wajib atau suka rela.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem Pembiayaan Kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Jumlah dana untuk kesehatan harus cukup tersedia dan dikelola
secara berdaya-guna, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh transparansi dan
akuntabilitas.
2. Dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi masyarakat rentan dan keluarga
miskin.
3. Dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan
yang terorganisir, adil, berhasil-guna dan berdaya-guna melalui jaminan
pemeliharaan kesehatan baik berdasarkan prinsip solidaritas sosial yang wajib
maupun sukarela, yang dilaksanakan secara bertahap.
4. Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan diupayakan
melalui penghimpunan secara aktif dana sosial untuk kesehatan (misal: dana
sehat) atau memanfaatkan dana masyarakat yang telah terhimpun (misal: dana
sosial keagamaan) untuk kepentingan kesehatan.
5. Pada dasarnya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan
pembiayaan kesehatan di daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
Namun untuk pemerataan pelayanan kesehatan, Pemerintah menyediakan dana
perimbangan (maching grant) bagi daerah yang kurang mampu.
E. BENTUK POKOK
Penggalian Dana
Penggalian dana untuk UKM
Sumber dana untuk UKM terutama berasal dari pemerintah baik pusat
maupun daerah, melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman serta
berbagai sumber lainnya. Sumber dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat
adalah swasta serta masyarakat. Sumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip
public-private partnership yang didukung dengan pemberian insentif,
misalnya keringanan pajak untuk setiap dana yang disumbangkan. Sumber dana dari
masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri guna membiayai upaya
kesehatan masyarakat misalnya dalam bentuk dana sehat, atau dilakukan secara
pasif yakni menambahkan aspek kesehatan dalam rencana pengeluaran dari dana
yang sudah terkumpul di masyarakat, misalnya dana sosial keagamaan.
Penggalian dana untuk UKP
Sumber dana untuk UKP berasal dari masing-masing individu dalam
satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin, sumber
dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme jaminan pemeliharaan
kesehatan wajib.
Pengalokasian Dana
Alokasi dana dari pemerintah
Alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk UKM dan UKP dilakukan
melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah,
sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari total anggaran pendapatan dan
belanja setiap tahunnya.
Alokasi dana dari masyarakat
Alokasi dana yang berasal dari masyarakat untuk UKM dilaksanakan
berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan kemampuan. Sedangkan untuk UKP
dilakukan melalui kepesertaan dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan
wajib dan atau sukarela.
Pembelanjaan
Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan public-private
partnership digunakan untuk membiayai UKM. Pembiayaan kesehatan yang
terkumpul dari Dana Sehat dan Dana Sosial Keagamaan digunakan untuk membiayai
UKM dan UKP.
Pembelanjaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan
kesehatan keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
wajib. Sedangkan pembelanjaan untuk pemeliharaan kesehatan keluarga mampu
dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib dan atau sukarela.
Di masa mendatang, biaya kesehatan dari pemerintah secara bertahap
digunakan seluruhnya untuk pembiayaan UKM dan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat rentan dan keluarga miskin.
BAB VI
SUBSISTEM SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem sumberdaya manusia (SDM) kesehatan adalah tatanan yang
menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan serta
pendayagunaan tenaga kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan
profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan
maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan
upaya kesehatan.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem SDM kesehatan adalah tersedianya tenaga kesehatan
yang bermutu secara mencukupi, terdistribusi secara adil serta termanfaatkan
secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR–UNSUR UTAMA
Subsistem SDM Kesehatan terdiri dari tiga unsur utama yakni
perencanaan, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga kesehatan.
1. Perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis,
jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan
2. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya
pengadaan tenaga kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan kualifikasi yang
telah direncanakan serta peningkatan kemampuan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan kesehatan.
3. Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan,
pemanfaatan, pembinaan dan
pengawasan tenaga kesehatan.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem SDM Kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pengadaan tenaga kesehatan yakni yang mencakup jumlah, jenis dan
kualifikasi tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan
serta dinamika pasar di dalam maupun di luar negeri.
Pendayagunaan tenaga kesehatan memperhatikan asas pemerataan
pelayanan kesehatan serta kesejahteraan dan keadilan bagi tenaga kesehatan. Pembinaan
tenaga kesehatan diarahkan pada penguasaan ilmu dan teknologi serta pembentukan
moral dan akhlak sesuai dengan ajaran agama dan etika profesi yang
diselenggarakan secara berkelanjutan.
Pengembangan karir dilaksanakan secara objektif, transparan,
berdasarkan prestasi kerja dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan secara nasional.
E. BENTUK POKOK
Perencanaan tenaga kesehatan
Kebutuhan baik jenis, jumlah maupun kualifikasi tenaga kesehatan
dirumuskan dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan masukan dari Majlis
Tenaga Kesehatan yang dibentuk di pusat dan provinsi. Majlis Tenaga Kesehatan
adalah badan otonom yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan di pusat serta oleh Gubernur
di provinsi dengan susunan keanggotaan terdiri dari wakil berbagai pihak
terkait, termasuk wakil konsumen dan tokoh masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
a. Standar pendidikan vokasi, sarjana dan profesi tingkat pertama
ditetapkan oleh asosiasi institusi pendidikan tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Sedangkan standar pendidikan profesi tingkat lanjutan ditetapkan oleh
kolegium profesi yang bersangkutan.
b. Penyelenggara pendidikan vokasi, sarjana dan profesi tingkat
pertama adalah institusi pendidikan tenaga kesehatan yang telah diakreditasi
oleh asosiasi institusi pendidikan kesehatan yang bersangkutan. Sedangkan
penyelenggara pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi pendidikan (university
based) dan institusi pelayanan kesehatan (hospital based) yang telah
diakreditasi oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
c. Standar pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan oleh organisasi
profesi yang bersangkutan. Sedangkan penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan
termasuk yang bersifat berkelanjutan (continuing education) adalah
organisasi profesi serta institusi pendidikan, institusi pelatihan dan
institusi pelayanan kesehatan yang telah diakreditasi oleh organisasi profesi
yang bersangkutan.
d. Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan
harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan produksi tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
e. Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan
untuk tenaga kesehatan yang dibutuhkan oleh pembangunan kesehatan, tetapi belum
diminati oleh swasta, menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pendayagunaan tenaga kesehatan
Penempatan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan milik
pemerintah dilakukan dengan system kontrak kerja, serta penempatan sebagai
pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan.
Penempatan tenaga kesehatan dengan sistem kontrak kerja
diselenggarakan atas dasar kesepakatan secara suka rela antara kedua belah
pihak.
Penempatan tenaga kesehatan sebagai PNS diselenggarakan dalam
rangka mengisi formasi pegawai pusat dan pegawai daerah serta formasi tenaga
kesehatan strategis yakni pegawai pusat yang dipekerjakan di daerah.
Penempatan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan milik
swasta di dalam negeri diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan milik
swasta yang bersangkutan melalui koordinasi dengan pemerintah.
Penempatan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan di luar
negeri diselenggarakan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus dengan tugas
mengkoordinasikan pendayagunaan tenaga kesehatan ke luar negeri.
Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar
negeri didahului dengan program adaptasi yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan yang telah diakreditasi oleh organisasi profesi yang bersangkutan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan asing di dalam negeri dilakukan
setelah tenaga kesehatan asing tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh organisasi profesi yang bersangkutan.
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi dilakukan melalui
sertifikasi, registrasi, uji kompetensi dan pemberian lisensi. Sertifikasi
dilakukan oleh institusi pendidikan; registrasi dilakukan oleh komite
registrasi tenaga kesehatan; uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing
organisasi profesi; sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.
Dalam pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan diberlakukan peraturan
perundang-undangan, hokum tidak tertulis serta etika profesi.
Pendayagunaan tenaga masyarakat di bidang kesehatan dilakukan
secara serasi dan terpadu oleh pemerintah dan masyarakat. Pemberian kewenangan
dalam teknis kesehatan kepada tenaga masyarakat dilakukan sesuai keperluan dan
kompetensinya.
BAB VII
SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tatanan yang
menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan, pemerataan serta mutu
obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung dalam rangka
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan
yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tersedianya
obat dan perbekalan kesehatan yang aman, bermutu dan bermanfaat, serta
terjangkau oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR–UNSUR UTAMA
Subsistem obat dan perbekalan kesehatan terdiri dari tiga unsur
utama yakni jaminan ketersediaan, jaminan pemerataan serta jaminan mutu obat
dan perbekalan kesehatan.
Jaminan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan adalah upaya
pemenuhan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan sesuai dengan jenis dan
jumlah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jaminan pemerataan obat dan perbekalan
kesehatan adalah upaya penyebaran obat dan perbekalan kesehatan secara merata
dan berkesinambungan sehingga mudah diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat.
Jaminan mutu obat dan perbekalan kesehatan adalah upaya menjamin
khasiat, keamanan serta keabsahan obat dan perbekalan kesehatan sejak dari
produksi hingga pemanfaatannya.
Ketiga unsur utama tersebut, yakni jaminan ketersediaan, jaminan
pemerataan serta jaminan mutu obat dan perbekalan kesehatan, bersinergi dan
ditunjang dengan teknologi, tenaga pengelola serta penatalaksanaan obat dan
perbekalan kesehatan.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan subsistem obat dan perbekalan kesehatan mengacu
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia
yang berfungsi sosial, sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas
ekonomi semata.
2. Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya
dikendalikan oleh pemerintah dan tidak sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme
pasar.
3. Obat dan Perbekalan Kesehatan tidak dipromosikan secara
berlebihan dan menyesatkan.
4. Peredaran serta pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan tidak
boleh bertentangan dengan hukum, etika dan moral.
5. Penyediaan obat mengutamakan obat esensial generik bermutu yang
didukung oleh pengembangan industri bahan baku yang berbasis pada
keanekaragaman sumberdaya alam.
6. Penyediaan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalui optimalisasi
industri nasional dengan memperhatikan keragaman produk dan keunggulan daya
saing.
7. Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan
standar formularium obat rumah sakit, sedangkan di sarana kesehatan lain
mengacu kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
8. Pelayanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara
rasional dengan memperhatikan aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan diakses
serta keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya.
9. Pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh
obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh
masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.
10. Pengamanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan mulai
dari tahap produksi, distribusi dan pemanfaatan yang mencakup mutu, manfaat,
keamanan dan keterjangkauan.
11. Kebijaksanaan Obat Nasional ditetapkan oleh pemerintah bersama
pihak terkait lainnya.
E. BENTUK POKOK
Jaminan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
Perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan secara
nasional diselenggarakan oleh pemerintah bersama pihak terkait.
Perencanaan obat merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang ditetapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi dan
pihak terkait lainnya.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan diutamakan melalui
optimalisasi industri nasional.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan oleh pembangunan
kesehatan dan secara ekonomis belum diminati swasta menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Pengadaan dan produksi bahan baku obat difasilitasi oleh
pemerintah.
Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit didasarkan pada
formularium yang ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit
Jaminan pemerataan obat dan perbekalan kesehatan
Pendistribusian obat diselenggarakan melalui pedagang besar
farmasi. Pelayanan obat dengan resep dokter kepada masyarakat diselenggarakan
melalui apotek, sedangkan pelayanan obat bebas diselenggarakan melalui apotek,
toko obat dan tempat-tempat yang layak lainnya, dengan memperhatikan fungsi
sosial.
Dalam keadaan tertentu, dimana tidak terdapat pelayanan apotek,
dokter dapat memberikan pelayanan obat secara langsung kepada masyarakat.
Pelayanan obat di apotek harus diikuti dengan penyuluhan yang penyelenggaraannya
menjadi tanggung jawab apoteker.
Pendistribusian, pelayanan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan
harus memperhatikan fungsi sosial.
Jaminan mutu obat dan perbekalan kesehatan
Pengawasan mutu produk obat dan perbekalan kesehatan dalam peredaran
dilakukan oleh industri yang bersangkutan, pemerintah, organisasi profesi dan
masyarakat.
Pengawasan distribusi obat dan perbekalan kesehatan dilakukan oleh
pemerintah, kalangan pengusaha, organisasi profesi dan masyarakat.
Pengamatan efek samping obat dilakukan oleh pemerintah, bersama
dengan kalangan pengusaha, organisasi profesi dan masyarakat.
Pengawasan promosi serta pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan
dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan kalangan pengusaha, organisasi
profesi dan masyarakat.
Pengendalian harga obat dan perbekalan kesehatan dilakukan oleh
pemerintah bersama pihak terkait.
Pengawasan produksi, distribusi dan penggunaan narkotika,
psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya dilakukan oleh pemerintah
secara lintas sektor, organisasi profesi dan masyarakat. Pengawasan produksi,
distribusi dan pemanfaatan obat tradisional dilakukan oleh pemerintah secara
lintas sektor, organisasi profesi dan masyarakat.
BAB VIII
SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENGERTIAN
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang menghimpun
berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di bidang kesehatan
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah terselenggaranya
upaya pelayanan, advokasi dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan
masyarakat di bidang kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk
menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari tiga unsur utama,
yakni pemberdayaan perorangan, pemberdayaan kelompok dan pemberdayaan
masyarakat umum.
1. Pemberdayaan perorangan adalah upaya meningkatkan peran, fungsi
dan kemampuan perorangan dalam membuat keputusan untuk memelihara kesehatan.
Target minimal yang diharapkan adalah untuk diri sendiri yakni mempraktikkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang diteladani oleh keluarga dan
masyarakat sekitar. Sedangkan target maksimal adalah berperan aktif sebagai
kader kesehatan dalam menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih
dan sehat.
2. Pemberdayaan kelompok adalah upaya meningkatkan peran, fungsi
dan kemampuan kelompokkelompok di masyarakat, termasuk swasta sehingga di satu
pihak dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi kelompok dan di pihak
lain dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa program pengabdian (to
serve), memperjuangkan kepentingan masyarakat di bidang kesehatan (to
advocate) atau melakukan pengawasan sosial terhadap pembangunan kesehatan (to
watch).
3. Pemberdayaan masyarakat umum adalah upaya meningkatkan peran,
fungsi dan kemampuan masyarakat, termasuk swasta sedemikian rupa sehingga di
satu pihak dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan di
pihak lain dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Kegiatan yang dilakukan dapat berupa program pengabdian, memperjuangkan kepentingan
masyarakat di bidang kesehatan atau melakukan pengawasan sosial terhadap pembangunan
kesehatan.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan subsistem pemberdayaan masyarakat mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pemberdayaan masyarakat
berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai dengan
sosial budaya, kebutuhan dan potensi setempat.
2. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan kesempatan
untuk mengemukakan pendapat serta keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan kesehatan.
3. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan melalui pendekatan edukatif untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan serta kepedulian dan peran aktif dalam berbagai upaya kesehatan.
4. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan menerapkan prinsip kemitraan yang didasari semangat kebersamaan
dan gotong royong serta terorganisasikan dalam berbagai kelompok atau
kelembagaan masyarakat.
5. Pemerintah bersikap
terbuka, bertanggungjawab dan bertanggunggugat dan tanggap terhadap aspirasi masyarakat,
serta berperan sebagai pendorong, pendamping, fasilitator dan pemberi bantuan (asistensi)
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang berbasis masyarakat.
E. BENTUK POKOK
1. Pemberdayaan Perorangan
a. Pemberdayaan perorangan dilakukan atas prakarsa perorangan atau
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat termasuk swasta dan pemerintah.
b. Pemberdayaan perorangan terutama ditujukan kepada tokoh
masyarakat, tokoh adat, tokoh
agama, tokoh politik, tokoh swasta dan tokoh populer.
c. Pemberdayaan perorangan dilakukan melalui pembentukan pribadi-pribadi
dengan perilaku hidup bersih dan sehat serta pembentukan kader-kader kesehatan.
2. Pemberdayaan Kelompok
a. Pemberdayaan kelompok dilakukan atas prakarsa perorangan atau
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat termasuk swasta.
b. Pemberdayaan kelompok terutama ditujukan kepada kelompok atau
kelembagaan yang ada di masyarakat seperti: RT/RW, kelurahan/banjar/nagari,
kelompok pengajian, kelompok budaya, kelompok adat, organisasi swasta,
organisasi wanita, organisasi pemuda dan organisasi profesi.
c. Pemberdayaan kelompok dilakukan melalui pembentukan kelompok
peduli kesehatan dan atau peningkatan kepedulian kelompok/lembaga masyarakat
terhadap kesehatan.
3. Pemberdayaan Masyarakat Umum
a. Pemberdayaan masyarakat umum dilakukan atas prakarsa perorangan
atau kelompok-kelompok yang ada di masyarakat termasuk swasta.
b. Pemberdayaan masyarakat umum ditujukan kepada seluruh
masyarakat dalam suatu wilayah.
c. Pemberdayaan masyarakat umum dilakukan melalui pembentukan
wadah perwakilan masyarakat yang peduli kesehatan. Wadah perwakilan yang
dimaksud antara lain adalah Badan Penyantun Puskesmas (di kecamatan),
Konsil/Komite Kesehatan Kabupaten/Kota (di kabupaten/kota), atau Koalisi/Jaringan/Forum
Peduli Kesehatan (di provinsi dan nasional).
BAB IX
SUBSISTEM MANAJEMEN KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem manajemen kesehatan adalah tatanan yang menghimpun
berbagai upaya administrasi kesehatan yang ditopang oleh pengelolaan data dan
informasi, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
B. TUJUAN
Tujuan subsistem manajemen kesehatan adalah terselenggaranya fungsi-fungsi
administrasi kesehatan yang berhasil-guna dan berdaya-guna, didukung oleh
sistem informasi, IPTEK dan hukum kesehatan, untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang
setinggitingginya.
C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem manajemen kesehatan terdiri dari empat unsur utama,
yakni administrasi kesehatan, informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta hukum kesehatan.
1. Administrasi kesehatan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.
2. Informasi kesehatan adalah hasil pengumpulan dan pengolahan data
yang merupakan masukan bagi pengambilan keputusan di bidang kesehatan.
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil penelitian dan pengembangan
yang merupakan masukan bagi pengambilan keputusan di bidang kesehatan.
4. Hukum kesehatan adalah peraturan perundang-undangan kesehatan yang
dipakai sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
D. PRINSIP
Penyelenggaraan subsistem manajemen kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Administrasi kesehatan.
a. Administrasi kesehatan diselenggarakan dengan berpedoman pada
asas dan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam
satu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Administrasi kesehatan diselenggarakan dengan dukungan
kejelasan hubungan administrasi
dengan berbagai sektor pembangunan lain serta antar unit kesehatan
di berbagai jenjang
administrasi pemerintahan.
c. Administrasi kesehatan diselenggarakan melalui kesatuan koordinasi
yang jelas dengan berbagai sektor pembangunan lain serta antar unit kesehatan
dalam satu jenjang administrasi
pemerintahan.
d. Administrasi kesehatan diselenggarakan dengan mengupayakan
kejelasan pembagian
kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar unit kesehatan dalam
satu jenjang yang sama dan di berbagai jenjang administrasi pemerintahan.
A. Informasi kesehatan
a. Informasi kesehatan mencakup seluruh data yang terkait dengan kesehatan
baik yang berasal dari sektor kesehatan ataupun dari berbagai sektor
pembangunan lain.
b. Informasi kesehatan mendukung proses pengambilan keputusan di
berbagai jenjang administrasi kesehatan.
c. Informasi kesehatan disediakan sesuai dengan kebutuhan
informasi untuk pengambilan keputusan.
d. Informasi kesehatan yang disediakan harus akurat dan disajikan
secara cepat dan tepat waktu, dengan mendayagunakan teknologi informasi dan
komunikasi.
e. Pengelolaan informasi kesehatan harus dapat memadukan pengumpulan
data melalui cara-cara rutin (yaitu pencatatan dan pelaporan) dan cara-cara
nonrutin (yaitu survai, dan lain-lain).
f. Akses terhadap informasi kesehatan harus memperhatikan aspek
kerahasiaan yang berlaku di
bidang kesehatan dan kedokteran.
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
a. Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan adalah untuk
kepentingan masyarakat yang sebesar-besarnya.
b. Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan tidak boleh
bertentangan dengan etika moral dan nilai agama.
4. Hukum kesehatan
a. Pengembangan hukum kesehatan diarahkan untuk terwujudnya sistem
hukum kesehatan yang mencakup pengembangan substansi hukum, pengembangan kultur
dan budaya hukum serta pengembangan aparatur hukum kesehatan.
b. Tujuan pengembangan hukum kesehatan adalah untuk menjamin terwujudnya
kepastian hukum, keadilan hukum dan manfaat hukum.
c. Pengembangan dan penerapan hukum kesehatan harus menjunjung
tinggi etika moral dan agama.
E. BENTUK POKOK
1. Administrasi Kesehatan
Penanggung jawab administrasi kesehatan menurut jenjang
administrasi pemerintahan adalah
Departemen Kesehatan di pusat, Dinas Kesehatan Provinsi di
provinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Kabupaten/Kota. Dinas kesehatan adalah instansi
kesehatan tertinggi dalam satu wilayah administrasi pemerintahan.
Departemen Kesehatan berhubungan secara teknis fungsional dengan
Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan sebaliknya.
Fungsi Departemen Kesehatan adalah mengembangkan kebijakan nasional
dalam bidang kesehatan, pembinaan dan bantuan teknis serta pengendalian
pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Dinas Kesehatan Provinsi melaksanakan kewenangan desentralisasi
dan tugas dekonsentrasi bidang kesehatan dengan fungsi perumusan kebijakan
teknis bidang kesehatan, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan
kesehatan serta pembinaan dan bantuan teknis terhadap Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaksanakan kewenangan desentralisasi
di bidang kesehatan, dengan fungsi perumusan kebijakan teknis kesehatan, pemberian
perizinan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan serta pembinaan terhadap UPTD
kesehatan. Perencanaan nasional diselenggarakan dengan menetapkan kebijakan dan
program pembangunan kesehatan nasional yang menjadi acuan perencanaan daerah.
Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan mengacu pada
pedoman dan standar nasional.
Perencanaan serta pelaksanaan dan pengendalian pembangunan
kesehatan di daerah didasarkan atas kewenangan wajib dan standar pelayanan
minimal bidang kesehatan.
Pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan mengacu pada pedoman, standar dan indikator nasional.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib membuat dan mengirimkan
laporan pelaksanaan dan hasil pembangunan kesehatan kepada Departemen Kesehatan
dan Dinas Kesehatan Provinsi.
Dinas Kesehatan Provinsi wajib membuat dan mengirimkan laporan
pelaksanaan dan hasil
pembangunan kesehatan kepada Departemen Kesehatan.
Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan dengan prinsip desentralisasi
dan otonomi daerah, pemerintah pusat melakukan asistensi, advokasi dan
fasilitasi.
Dalam keadaan tertentu untuk kepentingan nasional, misalnya dalam
penanggulangan wabah dan bencana, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan
dan pertanggungjawaban program pembangunan kesehatan diselenggarakan langsung
oleh pemerintah pusat.
2. Informasi Kesehatan
Sistem informasi kesehatan nasional dikembangkan dengan memadukan
sistem informasi kesehatan daerah dan sistem informasi lain yang terkait.
Sumber data sistem informasi kesehatan adalah dari sarana
kesehatan melalui pencatatan dan
pelaporan yang teratur dan berjenjang serta dari masyarakat yang
diperoleh dari survai, survailans dan sensus.
Data pokok sistem informasi kesehatan mencakup derajat kesehatan,
upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, obat dan
perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan serta
manajemen kesehatan.
Pengolahan dan analisis data serta pengemasan informasi
diselenggarakan secara berjenjang, terpadu, multidisipliner dan komprehensif.
Penyajian data dan informasi dilakukan secara multimedia guna
diketahui masyarakat secara luas untuk pengambilan keputusan di bidang
kesehatan.
3. IPTEK Kesehatan
IPTEK kesehatan dihasilkan dari penelitian dan pengembangan kesehatan
yang diselenggarakan oleh pusat-pusat penelitian dan pengembangan milik
masyarakat, swasta dan pemerintah.
Pemanfaatan IPTEK kesehatan didahului oleh penapisan yang diselenggarakan
oleh lembaga khusus yang berwenang.
Untuk kepentingan nasional dan global, dibentuk pusat-pusat
penelitian dan pengembangan unggulan.
Penyebarluasan dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan dilakukan melalui pembentukan jaringan informasi dan
dokumentasi IPTEK kesehatan.
4. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan dikembangkan secara nasional dan dipakai sebagai
acuan dalam mengembangkan peraturan perundang-undangan kesehatan daerah.
Ruang lingkup hukum kesehatan mencakup penyusunan peraturan
perundang-undangan, pelayanan advokasi hukum dan peningkatan kesadaran hukum di
kalangan masyarakat.
Penyelenggaraan hukum kesehatan didukung oleh pembentukan dan
pengembangan jaringan
informasi dan dokumentasi hukum kesehatan serta pengembangan
satuan unit organisasi hokum kesehatan di Departemen Kesehatan.
BAB X
PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL
A. PELAKU SKN
Pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan SKN
adalah :
Masyarakat, yang meliputi tokoh masyarakat, masyarakat madani, lembaga
swadaya masyarakat, media massa, organisasi profesi, akademisi, para pakar
serta masyarakat luas termasuk swasta, yang berperan dalam advokasi, pengawasan
sosial dan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan sesuai dengan bidang keahlian
dan kemampuan masing-masing.
Pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota yang berperan sebagai penanggung jawab, penggerak,
pembina dan pelaksana pembangunan kesehatan dalam lingkup wilayah kerja dan
kewenangan masing-masing. Untuk pemerintah pusat peranan tersebut ditambah
dengan menetapkan kebijakan, standar dan pedoman pembangunan kesehatan dalam
lingkup nasional, yang dipakai sebagai acuan dalam menyelenggarakan pembangunan
kesehatan daerah.
Badan legislatif, baik di pusat maupun di daerah, yang berperan
melakukan persetujuan anggaran dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pembangunan kesehatan, melalui penyusunan produk-produk hukum dan mekanisme
kemitraan antara eksekutif dan legislatif.
Badan Yudikatif, yang berperan menegakkan pelaksanaan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang kesehatan.
B. PROSES PENYELENGGARAAN
Penyelenggaraan SKN menerapkan pendekatan kesisteman, yakni cara
berpikir dan bertindak yang logis, sistematis, komprehensif dan holistik dalam
menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Pendekatan kesisteman tersebut menuntut
perlunya pemahaman tentang unsur-unsur sistem serta keterkaitannya satu sama
lain, sebagai berikut:
Masukan.
Unsur masukan dalam SKN adalah subsistem pembiayaan kesehatan,
subsistem sumberdaya manusia kesehatan dan subsistem obat dan perbekalan
kesehatan.
Proses.
Unsur proses dalam SKN adalah subsistem upaya kesehatan, subsistem
pemberdayaan masyarakat, dan subsistem manajemen kesehatan.
Keluaran.
Unsur keluaran dalam SKN adalah terselenggaranya pembangunan
kesehatan yang berhasil-guna, berdaya-guna, bermutu, merata dan berkeadilan.
Lingkungan.
Unsur lingkungan dalam SKN adalah berbagai keadaan yang menyangkut
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan baik
nasional, regional maupun global yang berdampak terhadap pembangunan kesehatan.
Penyelenggaraan SKN memerlukan keterkaitan antar unsur-unsur SKN.
Keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut :
Subsistem Pembiayaan Kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi
secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, sehingga
upaya kesehatan, baik upaya kesehatan masyarakat maupun upaya kesehatan perorangan
dapat diselenggarakan secara merata, tercapai, terjangkau dan bermutu bagi
seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang
terselenggaranya subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem obat dan
perbekalan kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat serta subsistem
manajemen kesehatan.
Subsistem Sumberdaya Manusia Kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara
adil serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, sehingga upaya
kesehatan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat. Tersedianya tenaga kesehatan yang mencukupi dan berkualitas juga
akan menunjang terselenggaranya subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem obat
dan perbekalan kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat serta subsistem
manajemen kesehatan.
Subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan yang mencukupi, aman, bermutu dan
bermanfaat serta terjangkau oleh masyarakat, sehingga upaya kesehatan dapat
diselenggarakan dengan berhasil-guna dan berdaya-guna.
Subsistem pemberdayaan masyarakat diselenggarakan guna
menghasilkan individu, kelompok dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Masyarakat yang berdaya akan berperan
aktif dalam penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya
manusia kesehatan, subsistem obat dan perbekalan kesehatan serta subsistem
manajemen kesehatan.
Subsistem manajemen kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
fungsi-fungsi administrasi kesehatan, informasi kesehatan, iptek kesehatan dan
hukum kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya
kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna. Dengan manajemen kesehatan
yang berhasil-guna dan berdaya-guna dapat diselenggarakan subsistem upaya kesehatan,
subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan,
subsistem obat dan perbekalan kesehatan serta subsistem pemberdayaan
masyarakat, sebagai suatu kesatuan yang terpadu dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Penyelenggaraan SKN memerlukan penerapan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar
subsistem SKN maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN.
Penyelenggaraan SKN memerlukan komitmen yang tinggi dan dukungan
serta kerjasama yang baik dari para pelaku SKN yang ditunjang oleh tata
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (good governance).
Penyelenggaraan SKN memerlukan adanya kepastian hukum dalam bentuk
penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang sesuai.
Penyelenggaraan SKN dilakukan melalui siklus perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban secara sistematis,
berjenjang dan berkelanjutan.
C. PENTAHAPAN PENYELENGGARAAN
Penyelenggaraan SKN dilaksanakan secara bertahap oleh para pelaku
SKN. Penyelenggaraan di daerah disesuaikan dengan aspirasi, potensi serta
kebutuhan setempat, dengan memperhatikan prioritas pembangunan kesehatan
masing-masing. Pentahapan penyelenggaraan SKN adalah sebagai berikut:
Penetapan SKN
Untuk memperoleh kepastian hukum yang mengikat semua pihak, SKN
perlu dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan.
Advokasi dan Sosialisasi SKN
Untuk diperolehnya komitmen dan dukungan dari semua pihak, SKN
perlu diadvokasikan dan
disosialisasikan.
Sasaran advokasi SKN adalah semua penentu kebijakan, baik di
tingkat pusat maupun daerah.
Sasaran sosialisasi adalah semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
pembangunan kesehatan, terutama masyarakat termasuk swasta.
Fasilitasi Pengembangan Sistem Kesehatan Daerah
Untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan di daerah perlu
dikembangkan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dengan mengacu pada SKN dan
mempertimbangkan kondisi, dinamika dan masalah spesifik daerah.
SKD tersebut terdiri dari Sistem Kesehatan Provinsi (SKP) dan
Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota (SKK).
Pemerintah Pusat memfasilitasi pengembangan SKD, memfasilitasi
pengukuhan SKD dalam bentuk peraturan perundang-undangan daerah serta
memfasilitasi advokasi dan sosialisasi SKD sesuai kebutuhan.
Pelaksanaan SKN dan SKD
Pelaksanaan SKN dan SKD diwujudkan dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, baik secara nasional maupun dalam lingkup daerah.
Pelaksanaan SKN dan SKD diselenggarakan melalui penataan ulang
keenam subsistemnya secara bertahap, sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
Pelaksanaan SKN dan SKD didukung dengan penyusunan kebijakan, standar
dan pedoman dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan SKN dan SKD diselenggarakan sesuai dengan asas desentralisasi
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengendalian SKN dan SKD
Pengendalian SKN dan SKD bertujuan untuk memantau dan menilai
keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kesehatan berdasarkan SKN dan SKD.
Pengendalian SKN dan SKD diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan
dengan menggunakan tolok ukur keberhasilan pembangunan kesehatan, baik tingkat
nasional maupun tingkat daerah.
Untuk keberhasilan pengendalian SKN dan SKD perlu dikembangkan
sistem informasi kesehatan nasional dan daerah yang terpadu.
BAB XI
PENUTUP
SKN dipergunakan sebagai dasar dan acuan dalam penyusunan berbagai
kebijakan, pedoman dan arahan penyelenggaraan pembangunan kesehatan serta
pembangunan berwawasan kesehatan.
SKN merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan berbagai
sistem nasional lainnya dalam suatu suprasistem, bersifat dinamis dan selalu mengikuti
perkembangan. Oleh karena itu tidak tertutup terhadap penyesuaian dan
penyempurnaan.
Keberhasilan pelaksanaan SKN ini sangat bergantung pada semangat,
dedikasi, ketekunan, kerja keras, kemampuan dan ketulusan para penyelenggara,
serta sangat bergantung pula pada petunjuk, rahmat, dan perlindungan Tuhan Yang
Maha Kuasa.